Apakah ODGJ Kebal Hukum, Bagaimana Bila Merugikan?

KOMPAS™, MAGETAN – Beberapa hari yang lalu ada kejadian menarik Ketika seseorang yang diduga Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) melakukan perusakan banner di kantor kelurahan dan sebuah kantor (Dewan Pimpinan Cabang) DPC partai politik di Magetan.
Sempat terekam oleh kamera warga dan akhirnya dilaporkan ke pihak kepolisian. Tindakan terduga tersebut seharusnya menjadi sebuah tindak pidana dikarenakan sangat jelas terpampang pelaku dikamera video yang beredar di masyarakat.
Apakah Tindakan orang yang diduga pelaku tersebut bisa dipidanakan meski dia diduga mengidap penyakit jiwa?
Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, “Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
Pada ayat (2) menyatakan, “Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan”.
Merujuk pasal 44 ayat 1 tersebut maka jelas disini bahwa ODGJ tidak bisa dipidanakan . Kenapa demikian? Karena orang dalam gangguan jiwa dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, memahami akibat dari perbuatan yang dilakukan, atau memiliki niat jahat yang menjadi syarat dalam hukum pidana. Dalam istilah pemidanaan dikenal istilah pembalasan dan penjeraan, maka ini tidak akan bisa dilakukan kepada orang yang terkena gangguan kejiwaan, karena mereka dianggap tidak mampu mengenal dan memahami konsep hukuman. Dalam konteks pemidanaan tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain maka mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Maka ODGJ dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap hukum. Pertanyaanya adalah siapa yang bisa memutuskan apakah orang tersebut bisa di pidanakan atau tidak?
Pada pasal 44 ayat 2 KUHP disampaikan bahwa hakim lah yang berhak menentukan apakah orang tersebut dinyatakan punya penyakit jiwa yang bisa dikenakan tindakan medis atau rehabilitasi jiwa.
Artinya ketika ada pelaporan pidana yang dilakukan oleh orang yang diduga ODGJ kepada pihak kepolisian maka berlaku ketentuan proses peyelidikan, penyidikan harus tetap dilakukan. Proses hukum harus tetap berjalan sepanjang tidak ada pencabutan dari pihak pelapor kalau itu adalah delik aduan. Tetapi sepanjang tidak ada pencabutan dari pelapor maka proses pemidanaan harus tetap dilanjutkan.
Petugas penyidikan wajib membawa pelaku ke tim kejiwaan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut guna menentukan kondisi kejiwaan terduga pelaku, dan nanti hasil pemeriksaan ini nanti akan digunakan hakim untuk memutuskan perkara. Biarlah nanti majelis hakim yang akan menentukan apakah nanti terduga dianggap ODGJ dan direhabilitasi atau dirawat di Rumah sakit jiwa untuk pemulihan mentalnya.
Status hukum ODGJ bergantung pada Tingkat keparahan gangguan jiwanya, jika pelaku masih bisa menjelaskan kronologinya dengan baik pada saat diiterogasi maka ini diangap tidak termasuk golongan diatur oleh undang undang.
Selain itu jika tindakan ODGJ ini menimbulkan kerugian bagi orang lain, pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada penanggung jawab ODGJ tersebut yaitu melalui gugatan perdata. Jadi proses hukum tetap harus berjalan hingga hakim akan menentukan apakah terduga pelaku benar benar tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. (*)
*) Oleh : Ahmad Setiawan, S.H., M.H.
Advokat dan Managing Partner Firma Hukum AS Law Firm
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kompasnusantara.co.id
*) Opini di KOMPAS Nusantara terbuka untuk umum. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.