Kewenangan Siapa, Perizinan Tambang?

Erhad Fenny Ardelawaty 06 Oct 2025 Opini
Kewenangan Siapa, Perizinan Tambang?

KOMPAS™, MAGETAN – Beberapa waktu yang lalu ramai diberitakan sebuah tambang yang terletak di desa Trosono kecamatan Parang kabupaten Magetan longsor yang mengakibatkan seorang sopir truk yang antri mengambil material tambang ditemukan meninggal tertimbun material longsor.

Kejadian tersebut sontak menjadi buah bibir pemberitaan di Magetan. Tehnik penggalian yang menggunakan undercut dianggap menyalahi tehnik ekspolitasi tambang galian C. Tinggi tebing tambang yang lebih dari 15 meter tegak lurus dianggap sangat berbahaya dan rentan longsor.

Akan lebih baik dan aman ketika menggunakan tehnik terasering. Banyak juga yang mempertanyakan perijinan tambang tersebut apakah sudah lengkap dan siapa yang mengeluarkan ijin, memonitor kegiatan penambangan tersebut.

Dasar hukum untuk tambang galian C adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengubah terminology mineral dan batubara menjadi batuan. Kemudian pemerintah juga mengeluarkan PP Nomor 23 tahun 2010 yang mengatur lebih rinci pemberian ijin usaha pertambangan batuan.

Peraturan teresebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 2 tahun 2025. Pada peraturan tersebut istilah galian C sudah tidak lagi dipergunakan dan diganti dengan istilah “batuan”. Kewenangan izin usaha pertambangan batuan (IUP Batuan) atau sekarang dikenal dengan istilah Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) diurus sesuai dengan kewenangan berdasarkan Lokasi dan luas wilayahnya.

Dimulai dari Pemerintah pusat (Menteri ESDM), provinsi (Gubernur) hingga kabupaten kota (Bupati/walikota). Izin Usaha Pertambangan adalah bersifat khusus yang artinya izin yang berbeda diperlukan untuk komoditas pertambangan yang berbeda seperti mineral logam, batubara maupun batuan.

Menjalankan usaha pertambangan dan tidak memiliki izin dapat dikenakan sanksi pidana. Klasifikasi galian golongan A adalah bahan tambang yang sangat penting untuk negara misalkan minyak bumi, batubara dan gas alam. Galian B adalah bahan tambang yang vital untuk hajat hidup orang banyak seperti logam dan unsur unsur lainnya. Sedangkan galian C adalah tambang yang tidak memiliki nilai strategis dan vital, bahan ini dipergunakan untuk industry dan kontruksi misalkan pasir, batu, tanah liat dan marmer.

Kewenangan memberikan izin galian C berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 adalah ditangan pemerintah pusat dalam hal ini kementrian energi dan sumber daya mineral. Pemerintah daerah berperan untuk menerbitkan rekomendasi tata ruang dan dokumen lingkungan hidup. Pemerintah daerah juga memiliki kewenangan menerbitakan izin jika kewenangan tersebut di delegasikan oleh pusat.

Pemerintah saat ini sedang merevisi Perpres 55 tahun 2022 untuk mengalihkan izin galian C ke pemerintah pusat. Kementrian ESDM sedang mengevaluasi kewenangan ini. Peraturanini juga mencakup beberapa aspek termasuk perizinan, pengelolaan dan pengawasan pertambangan serta kebijakan baru terkait tarif royalty dan peningkatan nilai tambah mineral dan batuan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2025 mengatur tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak di kementrian ESDM. Meski demikian masih banyak tambang yang tidak berizin atau illegal. Kegiatan izin ini dilakukan tanpa izin resmi dari pemerintah, melanggar peraturan perundang undangan dan tidak mengikuti prinsip-prinsip penambangan yang baik.

Kegiatan ini berpotensi merugikan negara dan menimbulkan konflik sosial. Dampak tambang illegal selain bisa merugikan negara dengan hilangnya potensi pendapatan negara juga bisa merusak lingkungan dan bisa mengakibatkan kecelakaan kerja seperti yang terjadi di tambang desa Trosono kecamatan Parang Kabupaten Magetan.

Perusahaan harus melaksanakan pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan secara ketat. Perusahaan juga berkewajiban untuk memulihkan lahan dan lingkungan pasca tambang sesuai standar yang ditetapkan.

Jadi tanggung jawab tambang galian C di suatu daerah terletak pada pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang meliputi aspek tehnis, keselamatan kerja dan lingkungan, namun juga melibatkan pemerintah daerah (Gubernur/Bupati/walikota) dalam hal pengawasan dan pembinaan agar sesuai dengan regulasi dan berkontribusi pada pendapatan daerah (PAD).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) secara umum mengatur sanksi administrasi dan pidana bagi setiap pihak yang melanggar ketentuan lingkungan, termasuk, pejabat pemerintah jika lalai dalam melaksanakan wewenang pengawasan dan penegakan hukum lingkungan.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memperjelas ketentuan dalam UU PPLH termasuk mengenai kewenangan pengawasan dan mekanisme penerapan sanksi administratif yang bisa dikenakan kepada pemerintah daerah atau instansi yang lalai.

Jenis sanksi administrative ini bisa berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin, hingga pencabutan izin yang merupakan kewenangan pemerintah daerah sebagai penegak hukum lingkungan.

Sanksi pidana meskipun tidak langsung, ditujukan kepada kepala daerah mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berat dapat mengarah pada sanksi pidana bagi penanggung jawab kegiatan atau pihak lain yang terlibat.

Untuk sanksi pemberhentian jabatan sesuai undang-undang pemerintahan daerah kelalaian dalam tugas dapat berujung pada sanksi pemberhentian jabatan bagi kepala daerah yang bersangkutan. (*)

*) Oleh : Ahmad Setiawan, S.H., M.H.
Advokat dan Managing Partner Firma Hukum AS Law Firm

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kompasnusantara.co.id

*) Opini di KOMPAS Nusantara terbuka untuk umum. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

This will close in 0 seconds