Aksi Damai Warga Jenangan, Tuntut Batasan Truk dan Pengelola Tambang
KOMPAS™, PONOROGO – Ratusan warga Desa Jimbe, Jenangan, Ponorogo menggelar aksi d balai desa setempat pada Selasa, (29/7), lantaran menuntut truk-truk tambang yang selama ini melintas di desa tersebut mengganggu dan merusak jalan.
Dalam aksi yang dihadiri warga masyarakat, sopir truk tambang, pengelola tambang, forkopimca, dan Dinas Perhubungan Ponorogo tersebut menghasilkan kesepakatan bersama dari 8 poin tuntutan warga.
Koordinator Aksi, Heru Susanto mengatakan bahwa warga masyarakat meminta delapan tuntutan untuk di sepakati bersama, “Ini bukan semata soal lali lintas, tapi ini menyangkut kehidupan sehari-hari yang sudah terlalu lama terganggu,” ungkapnya.
Adapun delapan tuntutan terhadap truk yang melintas diantara jalan Plalangan hingga Jimbe, Jenangan, tersebut adalah:
- Truk dilarang beroperasi antara pukul 06.00–07.00 WIB.
- Bak truk model jumbo dilarang beroperasi. Muatan berlebih dari truk berdimensi besar mempercepat kerusakan jalan dan membahayakan pengguna jalan lainnya
- Truk dilarang ugal-ugalan.
- Truk tidak boleh beroperasi hingga malam hari.
- Truk bermuatan berlebih wajib mengurangi pasir di tempat.
- Truk yang melanggar jam operasional, pasirnya diturunkan paksa.
- Sanksi administrasi Rp 2 juta bagi truk yang melanggar.
- Pelaku tambang diminta terlibat dalam perbaikan jalan rusak.
Bagi warga Jenangan, tuntutan ini bukan sekadar daftar permintaan, melainkan pagar keselamatan yang harus dijaga bersama.
Adapun yang mendasari tuntutan tersebut, larangan melintas di jam sekolah lantaran merupakan waktu krusial, saat anak-anak sekolah berangkat dan warga mulai aktivitas sehingga lalu-lintas padat. Tak sedikit warga yang harus menepi mendadak karena truk melaju terlalu cepat. Jalan harus steril dari lalu-lalang truk tambang dan keselamatan masyarakat harus jadi prioritas.
Warga butuh waktu istirahat. Deru mesin dan debu tambang di malam hari telah mengganggu ritme hidup di desa-desa.
Muatan yang berlebihan menyebabkan jalan amblas, mudah rusak dan rawan kecelakaan. Tindakan tegas ini menjadi pengingat bahwa kesepakatan bukan basa-basi. Ada konsekuensi nyata untuk pelanggaran.
Adapun denda, ini bukan pungutan liar. Ini hasil musyawarah warga dan sopir untuk menjaga keteraturan. Sanksi bisa diterapkan langsung di lapangan
“Ini bukan soal salah siapa, tapi soal tanggung jawab bersama. Jika jalan rusak karena aktivitas tambang, maka pelaku tambang harus turut memperbaikinya,” tambahnya.
Kesepakatan ini dibubuhi tanda tangan di atas materai sebagai bukti keseriusan semua pihak.
Perwakilan Sopir Truk, Andriwan, menerima dan menyetujui seluruh poin tuntutan. “Dimensi bak akan kami ubah, jalannya juga pelan-pelan,” katanya.
Delapan poin tuntutan menjadi batasan, bukan untuk menghentikan usaha, sehingga antara aktivitas ekonomi dan ketertiban hidup masyarakat bisa seimbang. Warga meminta konsistensi pelaksanaan bagi sopir, pengelola tambang, serta pemerintah dalam mengawal. (*)
Berita Ekoran lainnya klik Ekoran KOMPAS™ sajian berita dengan konsep Koran
