BPBD Ponorogo Himbau Masyarakat Peka Fenomena Alam
KOMPAS™, PONOROGO – Datangnya musim penghujan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ponorogo mewaspadai potensi bencana dengan deteksi dini fenomena alam.
Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Ponorogo Masun mengatakan bahwa dalam kurun waktu Januari hingga November 2025. BPBD Ponorogo mencatat ada 179 bencana dengan rincian 96 tanah longsor, 47 banjir, 26 cuaca ekstrem, 7 kebakaran hutan dan lahan, 2 kekeringan, serta 1 kebakaran bangunan rumah.
“Tingginya angka ini badalah fakta, jadi kita harus lebih siap dan waspada menghadapi potensi bencana,” ungkapnya, Senin (8/12).
Menurutnya, bencana alam yang terjadi di Ponorogo selama ini didominasi dan terkonsentrasi di Kecamatan Pulung, Ngrayun, dan Kecamatan Ngebel. Sedangkan belasan kali banjir yang terjadi selalu terulang di Kecamatan Balong.
“Sebaran lokasi bencana sesuai dengan karakter geografis Ponorogo. Setiap wilayah punya kerawanan masing-masing,” terangnya.
Dia menekankan bahwa bencana alam sebenarnya memiliki fenomena alam sebelum terjadi sehingga warga perlu jeli mengamatinya. Alam seolah sengaja memberi sinyal terjadinya bencana besar.

“Kalau kita mengenali tanda-tanda itu, cukup waktu untuk menyelamatkan diri,” jelasnya.
Dia menyebut tanah longsor kerap ditandai dengan suara gemeretak dari tanah, retakan yang semakin melebar, posisi pohon atau tiang yang mulai condong, hingga munculnya mata air baru atau kondisi air sungai yang tiba-tiba keruh. Tanda-tanda awal juga berlaku pada banjir bandang ketika hujan ekstrem turun di wilayah hulu yang sempit dan curam. Apalagi, jika vegetasi berkurang dan sungai mengalami penyumbatan material.
“Tanda utama banjir itu hujan yang sangat deras disertai suara gemuruh dari hulu, lalu air sungai naik cepat dan jadi keruh dalam waktu yang sangat singkat,” ungkapnya.
Masun meminta masyarakat cepat merespon ketika tanda-tanda alam muncul sebelum bencana terjadi. Namun, sulit memprediksi kapan bencana alam terjadi. Beberapa jenis pergerakan tanah bisa berlangsung cepat, sementara yang lain berlangsung lebih lambat.
“Bencana bisa terjadi dalam hitungan menit, jam, atau bahkan beberapa minggu jika tandanya berupa retakan tanah besar. Semua tergantung intensitas hujan, jenis tanah, kemiringan lereng. Juga vegetasi yang masih sering luput,” urainya.
Peringatan dari BPBD Ponorogo tersebut diperkuat oleh analisis terbaru dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam analisis dampak potensi banjir bandang dan longsor berdasarkan prakiraan gerakan tanah Desember 2025, sebagian besar wilayah Jawa Timur berada pada kategori menengah hingga tinggi untuk potensi gerakan tanah.
Banyak daerah masuk kategori wilayah berpotensi banjir bandang atau aliran bahan rombakan. Ponorogo termasuk dalam zona rawan tinggi bersama Trenggalek dan Pacitan karena karakter lereng curam, struktur sesar lokal, daerah rekahan, serta daerah aliran sungai yang pendek.
“Hasil dari Badan Geologi ini memperkuat bahwa skenario bencana ekstrem bisa terjadi. Kita harus lebih siap, bukan takut, tapi waspada.” ujarnya
Bahkan, dokumen yang ada menempatkan Ponorogo dan daerah lainnya masuk dalam wilayah dengan potensi ancaman serupa dengan kejadian longsor Banjarnegara pada 2014 lalu atau banjir bandang Humbang, Sumut, tahun 2024. Karena itu, BPBD Ponorogo memperkuat mitigasi, pemantauan lapangan, sosialisasi, serta edukasi tanda-tanda bahaya kepada masyarakat.
Lebih dalam, Dia mengimbau seluruh masyarakat untuk meningkatkan kehati-hatian, terutama di wilayah rawan tanah longsor dan banjir.
“Waspadai hujan deras yang berlangsung terus menerus. Kewaspadaan itu penting, karena sering kali bencana besar datang setelah tanda-tanda kecil,” pungkas Masun, Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Ponorogo. (*)